Selasa, 16 Desember 2014

Kebebasan Pers Di Era Reformasi

Oleh : Eka Dara Phonna
Suatu pencerahan datang kepada kebebasan pers, setelah runtuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik sosial, budaya, dan ekonomi yang pada masa orde baru terbengkalai. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi rakyat. Kehadiran pers saat ini dianggap sudah mampu mengisi kekosongan ruang publik yang menjadi celah antara penguasa dan rakyat. Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.
Antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan  persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan pers tersebut. Pada tahun 1999 lalu, atau tepatnya pasca kelahiran UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers, pers Indonesia menerima sebuah hadiah yang sangat didamba selama ini, yang tak lazim yaitu kebebasan berpendapat. Hadiah tersebut jelas begitu istimewa bagi masyarkat khususnya pelaku dunia pers seperti wartawan, karena siapa pun tahu selama puluhan tahun terakhir ini praktis kebebasan berpendapat dan berpolitik, apalagi untuk pers merupakan komoditi yang amat mahal di negeri ini. Pers di Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasannya, fenomena tersebut ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen-segmennya. Keberanian pers dalam mengkritik dan memantau penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia. Pers yang bebas aktif dan independen merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, sebagai ketentuan bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul adanya konflik ataupun pertikaian media terhadap publik.
Publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar hanya sekedar menurut media saja. Pers diharapkan memberikan berita harus dengan se-objektif mungkin. Dan akibatnya tentu ada sisi positif dan negatif yang muncul dari pers tersebut. Positifnya, pemerintah tak lagi mengekang kebebasan pers sehingga masyarakat memiliki pilihan untuk memilih informasi yang nyaris hampir tak terbatas. Barangkali batasnya hanyalah kekuatan ekonomi pengakses informasi itu sendiri. Makin banyak uang, makin banyak pilihan dari pengakses tersebut. Pers lebih menjadi komoditi industri dari pada menyandang fungsi idealisnya. Sisi negatifnya tentu saja akibat terjadi persaingan keras, maka pers kerapkali mengabaikan sisi-sisi yang seharusnya mereka pegang. Misalnya masalah check and balance dalam pemberitaan. Kita kerapkali melihat pers dengan mudah melakukan kekeliruan, sehingga tak jarang ini malah jadi ‘senjata’ buat birokrat untuk mengatakan “pers salah kutip” atau “memelintir” pernyataan yang bersangkutan.
Dengan situasi seperti ini, alih-alih tunduk pada penguasa seperti yang kita lihat sekarang ini, pers Indonesia kini lebih tunduk pada pemilik modal. Dalam kasus Bank Century dan pada pemilihan partai politik di tahun ini misalnya, kita melihat ada stasiun televisi yang memihak pada penguasa ataupun pada pemiliknya, disebabkan kedekatan pemilik modal dan pimpinannya dengan pihak yang dibelanya. Hal ini ironis, karena setelah susah payah membebaskan diri dari “perbudakan penguasa” di era Orde Baru, kini ada industri pers yang dengan sukarela “menjadi budak penguasa” demi akses atau imbalan tertentu. Hal terakhir ini tentu saja hanya Tuhan dan mereka yang tahu.

Kebebasan pers adalah sesuatu hal yang didamba semua pihak. Namun mau tak mau kebebasan tersebut tetap harus berjalan pada koridor yang bertanggungjawab. Meski tak bertanggungjawab kepada negara, pers memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada publik.